Jumat, 02 Maret 2012

| Jangan Merasa Bisa Taubat |

          Bertaubat merupakan dambaan setiap orang. Tak ada orang yang tidak suka dengan taubat dan tak seorang pun yang hatinya tidak ciut, jika dianggap belum bertaubat. Coba saja jika Anda menasihati kawan Anda, maka biasanya jawaban yang akan keluar dari mulutnya adalah: “Besok, jika saya sudah bertaubat, saya akan melaksanakannya.” Atau, jika Anda menuduhnya sebagai orang yang tidak mau bertaubat, maka kawan Anda itu akan melengos atau boleh jadi dia akan marah.
Bahkan pernah ada sebuah peristiwa. Seseorang tewas di tangan temannya, gara-gara ia menghujat kawannya itu dengan kata-kata yang cukup pedas didengar oleh telinga. “Sudah tua, tetapi tak mau bertaubat. Besok kalau mati, maka akan masuk neraka,” demikian katanya. Tak urung, kata-katanya itu membuat orang yang ’disumpahinya’ pun jadi naik darah.
       Betapa hebatnya makna yang dibawa oleh kata taubat tersebut. Seorang yang tadinya suka mengganggu orang, kemudian ia berhenti dari perbuatannya itu, jika dikatakan padanya bahwa sikapnya sudah tampak sebagai orang yang bertaubat, maka ia pun akan merasa senang sekali. Biasanya, ia tak sungkan membeberkan resep-resep yang pernah ditempuhnya, sehingga ia bisa mencapai taubat yang dimaksudkannya itu.
 Tiga Macam Kreteria
Hal ini menunjukkan bahwa, taubat itu merupakan dambaan setiap orang – meski dalam prakteknya, banyak kendala yang ditemui dan tampak sangat sulit untuk bisa menjalani kebiasaan baru sebagai konsekuensi dari taubat tersebut.
            Apakah taubat itu? Secara syar’i, orang yang bertaubat itu harus menempuh tiga macam kriteria. Pertama, menyesali perbuatan dosa atau kesalahan yang telah dilakukan dan memohon ampunan Allah. Kedua, tidak mengulangi lagi perbuatan dosa atau kesalahan tersebut. Sedang yang ketiga, segera melakukan perbuatan baik untuk mengganti perbuatan dosa atau kesalahan yang telah dilakukannya.
            Pada kriteria pertama, orang kerapkali merasa sudah menyesali perbuatan dosa atau kesalahannya. Namun, sejatinya, ia belum menyesal dan bahkan cenderung mencari pihak ketiga untuk dijadikan kambing hitam. Misalnya, seseorang berkata, ”Saya menyesal. Tetapi, saya berbuat demikian, karena ia yang lebih dulu memancing kemarahan saya.” Atau dengan bahasa yang berbeda, seseorang berkata demikian, ”Saya memang salah, tetapi dia juga salah.”
Atau berkata seperti ini: ”Saya menyesal, tetapi setan telah memperdaya saya, sehingga saya berbuat demikian.” Kalimat-kalimat tersebut dan yang sejenis dengan itu, memberi isyarat bahwa orang yang bersangkutan belum sepenuhnya menyesal. Ia masih mencari alasan pembenar dari perbuatan dosa atau kesalahan yang telah diperbuatnya.
            Pada tataran ini, seseorang yang masih mencari celah kesalahan orang lain tatkala ia tengah mengupas kesalahannya sendiri, atau menganggap setan sebagai biang keladi dari perbuatan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka orang semacam itu sesungguhnya belum menyesali sepenuhnya akan perbuatan dosa atau kesalahannya. Mengapa demikian?
Sebab, ketika seseorang berusaha melihat kesalahan orang lain sebagai pemicu kesalahan yang diperbuatnya, maka pada saat yang sama, ia telah merasa bahwa dirinya itu sudah melakukan hal yang ”benar”. Begitu pula, ketika seseorang menganggap setan sebagai biang keladi yang telah menipu dirinya sehingga ia berbuat salah, maka pada saat itu, ia pun tengah mencoba membangun benteng untuk menutupi kesalahannya sendiri.
            Sikap yang demikian itu, pada gilirannya akan membuat hati seseorang jadi tidak merasa nyaman ketika mendengar nasihat atau teguran. Apalagi jika mendengar caci-maki dan teguran yang bersifat cukup keras atau pedas. Tak heran, jika ada orang yang mengaku sudah menyesal, tetapi ketika dicaci-maki dan ditegur dengan kata-kata yang pedas, nafsu amarahnya langsung bangkit dan ia pun akhirnya jadi lepas kendali. Hal itu terjadi karena, sejatinya, sang hati masih tertutup dan penyesalan yang dikira sudah masuk ke dalam hati itu, ternyata masih berada di luar.
            Tanpa bermaksud membenarkan tindakan mencaci-maki seseorang yang berbuat salah dan mengesahkan teguran dengan kata-kata yang pedas, namun jika hal itu terjadi pada seseorang yang telah berbuat salah dan ia juga sudah mengaku menyesal, maka apabila penyesalannya itu benar-benar dari lubuk hatinya yang paling dalam dan dikarenakan oleh ketakutannya kepada Allah, maka jika diperlakukan seperti apapun, ia akan menerima dengan lapang hati.
Sebab, ia benar-benar menyesal. Dalam hal ini, penyesalannya itu bukan hanya kepada sesama makhluk, tetapi juga kepada Allah. Rasa penyesalannya kepada Allah itulah yang memberi kekuatan kepadanya untuk menerima segala macam caci-maki dan teguran pedas lainnya. Sebab, prinsipnya adalah, ”Lebih baik aku dihina sekarang, daripada Allah menghinaku kelak di akhirat karena perbuatan dosa atau kesalahanku ini.”
 Membuka Hijab
            Dalam hal ini, yang dilihat bukan lagi gerak makhluk Allah, tetapi gerak Allah itu sendiri. Maksudnya, orang yang mencaci-maki dan memberinya teguran keras itu adalah digerakkan oleh Allah untuk menebus perbuatan dosa atau kesalahan yang telah ia lakukan. Apabila seseorang sudah dapat mencapai pemahaman seperti ini, maka itu berarti ia benar-benar telah menyesali perbuatan dosa atau kesalahannya.
            Rasa penyesalan seperti itu, insya’ Allah akan membuka hijab yang menyelimuti hati kita, sehingga Allah pun berkenan menurunkan ampunanNya. Jika ampunan Allah telah turun, maka hati kita akan dipenuhi cahaya. Alhasil, hati kita pun jadi terbuka dan dapat menerima petunjuk yang diturunkan oleh Allah.
Oleh karena itu, hati kita yang tadinya dipenuhi penyesalan, akan diisi dengan rahmatNya, sehingga kita memiliki semangat untuk berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini, agar tidak jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Syukur-syukur bisa menghindari lubang-lubang kesalahan lainnya yang tidak serupa. Dalam hal ini, kita memasuki episode kedua dari kriteria taubat tadi, yakni tidak mengulangi perbuatan atau kesalahan itu lagi.
            Pada proses perjalanan dalam episode kedua ini, kebanyakan orang sering lupa menyandarkan ikhtiarnya kepada kemurahan rahmat Allah. Mereka menganggap dirinya sudah memiliki keimanan yang kuat dan sudah benar-benar bertaubat, karena bisa menghindari perbuatan dosa atau kesalahan yang sama. Merasa diri bisa menghindari perbuatan dosa atau kesalahan yang sama itulah yang merupakan senjata bumerang bagi kebanyakan orang. Mengapa demikian?
Sebab, perasaan tersebut, akan melahirkan perasaan merasa lebih dari orang lain. Misalnya, merasa lebih tinggi kualitas keimanannya, merasa telah menjadi orang baik, merasa dirinya bisa menghindari perbuatan dosa, merasa  bisa bertaubat, merasa lebih konsekuen dalam menjalankan aturan Allah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu, muaranya adalah kesombongan diri. Bukankah itu sama saja halnya dengan mendorong diri kita ke jurang yang lebih dalam?
            Oleh karena itu, di dalam melakukan berbagai ikhtiar agar kita tidak mengulangi perbuatan dosa atau kesalahan tersebut, jangan lupa untuk menyandarkan ikhtiar kita itu pada kemurahan rahmat Allah. Artinya, kita menyadari betul-betul, bahwa sejatinya, kita bisa menghindarkan diri dari perbuatan dosa atau kesalahan tersebut, adalah mutlak karena adanya petunjuk dan pertolongan Allah, lantaran kasih sayangNya yang Maha Luas. Jadi, bukan semata-mata karena kemampuan diri kita sendiri. 
 Kemurahan Allah
Selanjutnya, atas kemurahan Allah pula, kita pun dapat melakukan berbagai macam amal kebajikan dalam kehidupan kita. Disinilah letak episode ketiga dari kriteria taubat tadi. Dalam hal ini, tak jarang orang jadi melenceng hatinya. Awalnya ingin bertaubat dan melakukan berbagai amal kebajikan, namun pada gilirannya, mereka jadi merasa lebih baik, lebih ‘alim, lebih shalih dan merasa mampu menggerakkan dirinya untuk selalu mengerjakan berbagai macam amal kebajikan yang telah dilakukannya.
Hal itu dapat terjadi, apabila di dalam melakukan berbagai macam amal kebajikan itu, seseorang lupa untuk menyandarkannya pada kemurahan rahmat Allah. Ia menganggap bahwa karena dirinya hebat dan imannya yang kuat, sehingga bisa bertahan melakukan berbagai macam amal kebajikan. Akibatnya, ia tak sungkan melihat orang lain dengan sebelah mata, karena ia merasa amalan orang itu tidak sederajat dengan dirinya.
Padahal, sejatinya, ia dapat bergerak dan beramal itu adalah karena adanya pertolongan dan kemurahan rahmat Allah. Sekiranya Allah membuat tubuhnya tak bisa bergerak, maka tentulah ia juga tak akan bisa apa-apa. Sekiranya Allah membuatnya menjadi alpa, maka ia pun tidak akan bisa menjadi ingat untuk berbuat baik.
Apabila kita menyadari ketidakberdayaan kita tanpa adanya pertolongan dan kemurahan rahmat Allah tersebut, maka kita tidak akan melihat amal kebajikan yang telah kita lakukan itu sebagai prestasi kita yang patut dibanggakan. Sebab, kita menyadari betul bahwa segala amal kebajikan yang kita lakukan itu tidak akan terwujud tanpa adanya pertolongan Allah. Dialah yang membuat kita jadi ingat untuk berbuat kebajikan.
Dia pulalah yang membuat kita tahu caranya bagaimana melakukan amal kebajikan yang Dia sukai. Oleh karena itu, jangan pernah merasa diri bisa bertaubat. Sebab, sejatinya, Dialah yang memberi petunjuk ke dalam hati kita untuk bertaubat dan Dia pulalah yang menolong kita untuk melakukan pertaubatan tersebut. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ’aliyyil ’azhiim. Tak ada daya dan kekuatan pada diri kita untuk melakukan setitik amal kebajikan pun, melainkan hanya karena adanya kemurahan pertolongan dari Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Maha Suci Allah yang dengan izin-Nya, orang-orang tergerak untuk mensucikan diri dari perbuatan dosa dan kesalahan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar