Sabtu, 03 Maret 2012

| Merajut Masa Depan |

Bang Naga sedang berdialog dengan bigboss NGA (2012)
     Ibarat sedang mengejar mimpi, ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam mewujudkan mimpi itu agar bisa menjadi kenyataan, menjadi sebuah keniscayaan yang mau tidak mau harus terus diperjuangkan. Itulah konsekuensi yang harus dilalui dalam merajut masa depan. Sebuah perjuangan membangun sistem kekeluargaan agar bisa tetap eksis di tengah peradaban dunia modern. Memang tak mudah. Sebab, selain dibutuhkan kesungguhan, juga dibutuhkan pengorbanan yang besar.
     Didorong oleh keinginan yang kuat untuk bersama-sama ikut memberi warna bagi peradaban dunia modern, para senior yang tergabung dalam Spirit of Brotherhood in America (SBA), setiap tahun selalu berupaya mengkader dan mendorong sejumlah anggota pilihan yang telah tercerahkan untuk ikut masuk ke dalam sistem yang telah dibangun sejak tahun 2000 yang lalu. 
     "Kita tidak kalah dengan mereka yang berada di negara ini. Hanya kesempatan saja yang tak pernah berpihak kepada kita, sehingga kita tidak bisa masuk dalam sebuah kompetisi adil yang mereka buat. Karena itu, lewat SBA inilah, kita berusaha untuk mendorong teman-teman untuk ikut tampil memberi warna bagi peradaban dunia," ujar J Nagabonar Siregar, salah seorang pendiri SBA yang kini sedang berusaha mengendalikan jalannya sebuah kantor berita berskala dunia yang bermarkas di Inggris dan Amerika.
     SBA yang kini sudah beranggotakan sekitar 531 orang dengan berbagai disiplin ilmu itu, berusaha merekam dan melestarikan jejak perjalanannya dalam keikutsertaannya mewarnai peradaban dunia. Lewat menempatkan para kader yang terlatih  ke sejumlah tempat dalam jaringan kerja yang ada di Amerika, SBA bercita-cita untuk ikut memberi kontribusi positif bagi peradaban dunia.     
      "Apapun profesi kita, mari kita libatkan saudara-saudara kita yang ada di tanah air untuk ikut memperkuat jaringan SBA yang telah kita bangun ini agar bisa memberi kontribusi bagi perkembangan dunia. Salah satu caranya adalah dengan memberi ruang, membuka kesempatan dan mendorong peluang bagi anak bangsa untuk tampil di pentas dunia. Inilah ladang kebajikan bagi kita untuk berbagi tanpa pamrih," tukas J Nagabonar Siregar di hadapan anggota SBA yang berkumpul di Washington DC, Kamis (1/3/2012). [*]



Jumat, 02 Maret 2012

| Reunion Party in house ... |

     Dua tahun lebih tak pernah bertemu membuat kerinduan saya dan teman-teman yang tergabung dalam 'spirit of brohterhood'  in America (SBA), betul-betul tak kuasa menahan. Begitu ada kabar bakal datang seorang senior di komunitas SBA, saya pun langsung mengontak dan menginformasikan tentang rencana tersebut kepada kawan-kawan yang berada di beberapa negara bagian. Tak disangka-sangka, ternyata respon kawan-kawan SBA begitu tinggi. Secara spontan, kawan-kawan pun langsung melemparkan gagasan untuk mengadakan semacam acara temu-kangen sambil merencanakan kemungkinan untuk mengadakan reunion party in my house. Hmmm....ide bagus, pikir saya.
     Gagasan itu pun akhirnya saya lemparkan kembali ke kawan-kawan yang lain. Bagaimana tanggapan mereka tentang rencana dari beberapa anggota SBA tersebut? Mereka ternyata menyambut hangat. Mereka yang sebagian besar berada di beberapa negara bagian, telah menyatakan diri berniat untuk datang. Panitia kecil pun akhirnya dibentuk untuk mempersiapkan agar acara tersebut bisa berjalan lancar. Meski hanya bersifat seadanya, panitia kecil itu pun siap membagi tugas dengan segudang rencana.
     Semua buku resep yang berisi tentang masakan khas Indonesia pun dikeluarkan dari gudang. Siapa yang akan masak apa, telah berkemas-kemas. Wah ... benar-benar heboh. Tak ada yang tak terlibat. Kawan-kawan yang jauh pun siap datang sambil membawa makanan khasnya masing-masing.  Dan, ketika saat yang dinantikan itu telah tiba, tangis dan tawa pun meledak di arena pertemuan. Berbagai cerita dan kisah selama tak pernah bertemu, satu demi satu mewarnai pertemuan yang berlangsung penuh hikmat itu. 
      Subhanallah .... betapa indahnya jika bisa berkumpul bersama orang-orang yang kita cintai. Dalam hati, saya hanya bisa berucap: "Terima kasih Tuhan. Sebab kemurahan-Mu, akhirnya kami bisa berkumpul dan bertemu kembali setelah lama tak pernah bertemu." [*]

Panitia Kecil
Seksi Acara sedang bergaya


Mendongeng tentang Indonesia





















Seksi Bakar-bakar        
Seksi Penyimak dan Penggembira

| Jangan Merasa Bisa Taubat |

          Bertaubat merupakan dambaan setiap orang. Tak ada orang yang tidak suka dengan taubat dan tak seorang pun yang hatinya tidak ciut, jika dianggap belum bertaubat. Coba saja jika Anda menasihati kawan Anda, maka biasanya jawaban yang akan keluar dari mulutnya adalah: “Besok, jika saya sudah bertaubat, saya akan melaksanakannya.” Atau, jika Anda menuduhnya sebagai orang yang tidak mau bertaubat, maka kawan Anda itu akan melengos atau boleh jadi dia akan marah.
Bahkan pernah ada sebuah peristiwa. Seseorang tewas di tangan temannya, gara-gara ia menghujat kawannya itu dengan kata-kata yang cukup pedas didengar oleh telinga. “Sudah tua, tetapi tak mau bertaubat. Besok kalau mati, maka akan masuk neraka,” demikian katanya. Tak urung, kata-katanya itu membuat orang yang ’disumpahinya’ pun jadi naik darah.
       Betapa hebatnya makna yang dibawa oleh kata taubat tersebut. Seorang yang tadinya suka mengganggu orang, kemudian ia berhenti dari perbuatannya itu, jika dikatakan padanya bahwa sikapnya sudah tampak sebagai orang yang bertaubat, maka ia pun akan merasa senang sekali. Biasanya, ia tak sungkan membeberkan resep-resep yang pernah ditempuhnya, sehingga ia bisa mencapai taubat yang dimaksudkannya itu.
 Tiga Macam Kreteria
Hal ini menunjukkan bahwa, taubat itu merupakan dambaan setiap orang – meski dalam prakteknya, banyak kendala yang ditemui dan tampak sangat sulit untuk bisa menjalani kebiasaan baru sebagai konsekuensi dari taubat tersebut.
            Apakah taubat itu? Secara syar’i, orang yang bertaubat itu harus menempuh tiga macam kriteria. Pertama, menyesali perbuatan dosa atau kesalahan yang telah dilakukan dan memohon ampunan Allah. Kedua, tidak mengulangi lagi perbuatan dosa atau kesalahan tersebut. Sedang yang ketiga, segera melakukan perbuatan baik untuk mengganti perbuatan dosa atau kesalahan yang telah dilakukannya.
            Pada kriteria pertama, orang kerapkali merasa sudah menyesali perbuatan dosa atau kesalahannya. Namun, sejatinya, ia belum menyesal dan bahkan cenderung mencari pihak ketiga untuk dijadikan kambing hitam. Misalnya, seseorang berkata, ”Saya menyesal. Tetapi, saya berbuat demikian, karena ia yang lebih dulu memancing kemarahan saya.” Atau dengan bahasa yang berbeda, seseorang berkata demikian, ”Saya memang salah, tetapi dia juga salah.”
Atau berkata seperti ini: ”Saya menyesal, tetapi setan telah memperdaya saya, sehingga saya berbuat demikian.” Kalimat-kalimat tersebut dan yang sejenis dengan itu, memberi isyarat bahwa orang yang bersangkutan belum sepenuhnya menyesal. Ia masih mencari alasan pembenar dari perbuatan dosa atau kesalahan yang telah diperbuatnya.
            Pada tataran ini, seseorang yang masih mencari celah kesalahan orang lain tatkala ia tengah mengupas kesalahannya sendiri, atau menganggap setan sebagai biang keladi dari perbuatan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka orang semacam itu sesungguhnya belum menyesali sepenuhnya akan perbuatan dosa atau kesalahannya. Mengapa demikian?
Sebab, ketika seseorang berusaha melihat kesalahan orang lain sebagai pemicu kesalahan yang diperbuatnya, maka pada saat yang sama, ia telah merasa bahwa dirinya itu sudah melakukan hal yang ”benar”. Begitu pula, ketika seseorang menganggap setan sebagai biang keladi yang telah menipu dirinya sehingga ia berbuat salah, maka pada saat itu, ia pun tengah mencoba membangun benteng untuk menutupi kesalahannya sendiri.
            Sikap yang demikian itu, pada gilirannya akan membuat hati seseorang jadi tidak merasa nyaman ketika mendengar nasihat atau teguran. Apalagi jika mendengar caci-maki dan teguran yang bersifat cukup keras atau pedas. Tak heran, jika ada orang yang mengaku sudah menyesal, tetapi ketika dicaci-maki dan ditegur dengan kata-kata yang pedas, nafsu amarahnya langsung bangkit dan ia pun akhirnya jadi lepas kendali. Hal itu terjadi karena, sejatinya, sang hati masih tertutup dan penyesalan yang dikira sudah masuk ke dalam hati itu, ternyata masih berada di luar.
            Tanpa bermaksud membenarkan tindakan mencaci-maki seseorang yang berbuat salah dan mengesahkan teguran dengan kata-kata yang pedas, namun jika hal itu terjadi pada seseorang yang telah berbuat salah dan ia juga sudah mengaku menyesal, maka apabila penyesalannya itu benar-benar dari lubuk hatinya yang paling dalam dan dikarenakan oleh ketakutannya kepada Allah, maka jika diperlakukan seperti apapun, ia akan menerima dengan lapang hati.
Sebab, ia benar-benar menyesal. Dalam hal ini, penyesalannya itu bukan hanya kepada sesama makhluk, tetapi juga kepada Allah. Rasa penyesalannya kepada Allah itulah yang memberi kekuatan kepadanya untuk menerima segala macam caci-maki dan teguran pedas lainnya. Sebab, prinsipnya adalah, ”Lebih baik aku dihina sekarang, daripada Allah menghinaku kelak di akhirat karena perbuatan dosa atau kesalahanku ini.”
 Membuka Hijab
            Dalam hal ini, yang dilihat bukan lagi gerak makhluk Allah, tetapi gerak Allah itu sendiri. Maksudnya, orang yang mencaci-maki dan memberinya teguran keras itu adalah digerakkan oleh Allah untuk menebus perbuatan dosa atau kesalahan yang telah ia lakukan. Apabila seseorang sudah dapat mencapai pemahaman seperti ini, maka itu berarti ia benar-benar telah menyesali perbuatan dosa atau kesalahannya.
            Rasa penyesalan seperti itu, insya’ Allah akan membuka hijab yang menyelimuti hati kita, sehingga Allah pun berkenan menurunkan ampunanNya. Jika ampunan Allah telah turun, maka hati kita akan dipenuhi cahaya. Alhasil, hati kita pun jadi terbuka dan dapat menerima petunjuk yang diturunkan oleh Allah.
Oleh karena itu, hati kita yang tadinya dipenuhi penyesalan, akan diisi dengan rahmatNya, sehingga kita memiliki semangat untuk berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini, agar tidak jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Syukur-syukur bisa menghindari lubang-lubang kesalahan lainnya yang tidak serupa. Dalam hal ini, kita memasuki episode kedua dari kriteria taubat tadi, yakni tidak mengulangi perbuatan atau kesalahan itu lagi.
            Pada proses perjalanan dalam episode kedua ini, kebanyakan orang sering lupa menyandarkan ikhtiarnya kepada kemurahan rahmat Allah. Mereka menganggap dirinya sudah memiliki keimanan yang kuat dan sudah benar-benar bertaubat, karena bisa menghindari perbuatan dosa atau kesalahan yang sama. Merasa diri bisa menghindari perbuatan dosa atau kesalahan yang sama itulah yang merupakan senjata bumerang bagi kebanyakan orang. Mengapa demikian?
Sebab, perasaan tersebut, akan melahirkan perasaan merasa lebih dari orang lain. Misalnya, merasa lebih tinggi kualitas keimanannya, merasa telah menjadi orang baik, merasa dirinya bisa menghindari perbuatan dosa, merasa  bisa bertaubat, merasa lebih konsekuen dalam menjalankan aturan Allah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu, muaranya adalah kesombongan diri. Bukankah itu sama saja halnya dengan mendorong diri kita ke jurang yang lebih dalam?
            Oleh karena itu, di dalam melakukan berbagai ikhtiar agar kita tidak mengulangi perbuatan dosa atau kesalahan tersebut, jangan lupa untuk menyandarkan ikhtiar kita itu pada kemurahan rahmat Allah. Artinya, kita menyadari betul-betul, bahwa sejatinya, kita bisa menghindarkan diri dari perbuatan dosa atau kesalahan tersebut, adalah mutlak karena adanya petunjuk dan pertolongan Allah, lantaran kasih sayangNya yang Maha Luas. Jadi, bukan semata-mata karena kemampuan diri kita sendiri. 
 Kemurahan Allah
Selanjutnya, atas kemurahan Allah pula, kita pun dapat melakukan berbagai macam amal kebajikan dalam kehidupan kita. Disinilah letak episode ketiga dari kriteria taubat tadi. Dalam hal ini, tak jarang orang jadi melenceng hatinya. Awalnya ingin bertaubat dan melakukan berbagai amal kebajikan, namun pada gilirannya, mereka jadi merasa lebih baik, lebih ‘alim, lebih shalih dan merasa mampu menggerakkan dirinya untuk selalu mengerjakan berbagai macam amal kebajikan yang telah dilakukannya.
Hal itu dapat terjadi, apabila di dalam melakukan berbagai macam amal kebajikan itu, seseorang lupa untuk menyandarkannya pada kemurahan rahmat Allah. Ia menganggap bahwa karena dirinya hebat dan imannya yang kuat, sehingga bisa bertahan melakukan berbagai macam amal kebajikan. Akibatnya, ia tak sungkan melihat orang lain dengan sebelah mata, karena ia merasa amalan orang itu tidak sederajat dengan dirinya.
Padahal, sejatinya, ia dapat bergerak dan beramal itu adalah karena adanya pertolongan dan kemurahan rahmat Allah. Sekiranya Allah membuat tubuhnya tak bisa bergerak, maka tentulah ia juga tak akan bisa apa-apa. Sekiranya Allah membuatnya menjadi alpa, maka ia pun tidak akan bisa menjadi ingat untuk berbuat baik.
Apabila kita menyadari ketidakberdayaan kita tanpa adanya pertolongan dan kemurahan rahmat Allah tersebut, maka kita tidak akan melihat amal kebajikan yang telah kita lakukan itu sebagai prestasi kita yang patut dibanggakan. Sebab, kita menyadari betul bahwa segala amal kebajikan yang kita lakukan itu tidak akan terwujud tanpa adanya pertolongan Allah. Dialah yang membuat kita jadi ingat untuk berbuat kebajikan.
Dia pulalah yang membuat kita tahu caranya bagaimana melakukan amal kebajikan yang Dia sukai. Oleh karena itu, jangan pernah merasa diri bisa bertaubat. Sebab, sejatinya, Dialah yang memberi petunjuk ke dalam hati kita untuk bertaubat dan Dia pulalah yang menolong kita untuk melakukan pertaubatan tersebut. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ’aliyyil ’azhiim. Tak ada daya dan kekuatan pada diri kita untuk melakukan setitik amal kebajikan pun, melainkan hanya karena adanya kemurahan pertolongan dari Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Maha Suci Allah yang dengan izin-Nya, orang-orang tergerak untuk mensucikan diri dari perbuatan dosa dan kesalahan. ***

| Surat Tagihan Dari Allah |

     Pada suatu kesempatan, seorang kenalan menumpahkan seabrek uneg-unegnya kepada saya. Mulai dari masalah rumah tangganya, sampai dengan masalah yang ada di keluarga besarnya.
”Sejatinya, Anda tengah memperoleh surat tagihan dari Allah,” ujar saya setelah ia usai bercerita. Untuk beberapa saat lamanya, ia mengernyitkan dahinya. Pikirnya, sejauh ini, yang ia ketahui hanya ada tagihan pajak, tagihan listrik dan tagihan hutang. Bagaimana mungkin Allah mengirim surat tagihan untuk dirinya?
Sebelum ia bertanya, saya tersenyum seraya berkata: ”Itu adalah tagihan do’a. Maksudnya, Allah memperdengarkan dan memperlihatkan berbagai masalah itu kepada kita, boleh jadi, untuk mengingatkan kepada kita, bahwa sesungguhnya, kita telah lupa atau bahkan belum pernah sama sekali mendo’akan orang-orang yang terlibat dalam masalah itu. Baik itu dari kalangan keluarga kita sendiri maupun orang lain yang terlibat.”
”Berarti, masalah itu bisa ada karena saya kurang mendo’akan mereka? Hebat sekali ya, do’a saya kok bisa berpengaruh kepada banyak orang,” ujarnya setengah berseloroh sekaligus menunjukkan kekurang-pahamannya terhadap apa yang saya maksudkan.
”Ooo, bukan demikian pemahamannya,” saya langsung mempertegas untuk menghindari kesalah-pahaman dalam persoalan ini. Selanjutnya, saya menjelaskan, bahwa sejatinya, setiap masalah itu sudah ada cara penyelesaiannya sendiri-sendiri. Semua sudah diatur oleh Yang Maha Mengatur. Termasuk bagaimana cara penyelesaiannya, kapan penyelesaiannya itu terjadi dan siapa saja yang akan terlibat di dalam proses penyelesaian tersebut.
Oleh karena itu, seperti apapun kita berusaha, jika belum tiba waktunya, maka masalah itu tetap belum selesai. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa kita tidak perlu berusaha. Sebab, jika kita tidak mau berusaha, maka itu berarti kita telah menjadikan diri kita sebagai Tuhan. Seolah-olah kita telah mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang perlu terjadi. Justru sebagai tanda bahwa kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi itulah, maka kita perlu berusaha.

 Pertolongan Allah
Sampai di sini, kita perlu menggaris bawahi satu hal. Yakni, sehebat apapun kita, toh kita tetap saja tidak bisa menyelesaikan sebuah masalah – baik itu masalah pribadi maupun masalah orang lain – kecuali dengan adanya kehendak dan pertolongan Allah. Dengan memegang prinsip ini, kita jadi tidak merasa sombong dan ’ujub (berbangga diri) ketika bisa menyelesaikan sebuah masalah, dan tidak menjadi putus asa serta rendah diri ketika belum bisa keluar dari suatu masalah.
Dengan berdasarkan prinsip tersebut, maka ketika kita menghadapi masalah ataupun mendengarkan banyak masalah di sekitar kita, kita jadi tidak gampang menghitung dan menilai kesalahan orang ataupun menyesalkan apa yang sudah terjadi. Sekiranya kita belum bisa menemukan penyelesaian dari masalah yang kita hadapi itu, maka isilah hati kita dengan memperbanyak do’a untuk orang-orang yang terlibat di dalam masalah tersebut. Dengan demikian, keinginan untuk menyalahkan orang lain, akan diganti dengan do’a kebaikan yang dampaknya sudah barang tentu jauh lebih positif bagi hati kita.
Begitu pula tatkala kita mendengar masalah-masalah yang dipaparkan orang-orang di sekitar kita. Apabila kita menjawabnya dengan memperbanyak do’a  di dalam hati, maka keinginan untuk mengadili kesalahan orang lain insya Allah akan berkurang. Sekiranya kita tidak bisa menolong untuk mencari penyelesaian masalah orang lain tersebut, maka paling tidak, kita telah mendo’akan mereka dengan hati yang tulus.
            Manakala kita yang terlibat masalah dengan orang lain ataupun mendengarkan orang memaparkan masalahnya, maka ingatlah pada Zat yang memberi masalah tersebut. Bukan pada kepelikan masalahnya. Apabila kita ingat kepada Zat yang memberi masalah, maka insya Allah kita pun yakin bahwa masalah itu akan selesai atas izin dan pertolonganNya. Oleh karena itu, mintalah pertolongan kepada Zat Yang Maha Memberi tersebut.
Alhasil, kita tidak larut pada masalahnya semata dan tidak sibuk menilai siapa yang salah dan benar. Sebaliknya, kita justru memohon kepada Sang Khaliq, agar Dia memberi kejernihan hati dan pikiran serta memberikan pemecahan yang terbaik bagi mereka yang terlibat di dalam masalah tersebut.
 Jangan Memaksa Tuhan
Yang perlu diingat, jangan sampai kita berdo’a dengan cara memaksa Tuhan mengikuti keinginan kita. Sebab, boleh jadi, keinginan kita itu berasal dari hawa nafsu. Bukan merupakan suatu bentuk pengakuan kita, bahwa sesungguhnya kita ini tak punya daya dan kemampuan, kecuali atas pertolonganNya.
            Inilah makna dari surat tagihan dari Allah tadi. Dia menghadapkan, memperlihatkan dan memperdengar-kan kepada kita tentang masalah demi masalah, bukan karena Ia benci kepada hambaNya. Akan tetapi, karena kasih sayangNyalah, Allah menyentil kita dengan masalah, agar dengan demikian, kita bisa jadi ingat lagi kepadaNya. Bukankah Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa Allah itu Maha Pencemburu?
Oleh sebab itulah, maka Dia tidak ingin pikiran hambaNya beralih kepada selainNya. Masalah, merupakan salah satu cara Tuhan untuk mengajak hambaNya agar kembali ingat kepadaNya. Sedang do’a, selain sebagai sebuah permintaan dari hamba kepada Khaliqnya, juga adalah salah satu cara seorang hamba untuk mengingatNya.
            ”Jika demikian, berarti saya tidak perlu susah dengan masalah yang bertubi-tubi itu, ya? Sebab, kesusahan itu akan membuat hati saya jadi lemah dan berdo’a dengan memaksa Tuhan. Padahal berdo’a itu kan untuk memohon agar diberikan penyelesaian yang terbaik. Bukan memaksakan penyelesaian menurut hawa nafsu kita,” tiba-tiba kawan saya tadi mengambil kesimpulan yang dapat memberikan pencerahan pada pemahamannya tentang berbagai masalah yang ia hadapi, maupun masalah lainnya yang ada di dalam keluarganya.
            Usai pertemuan itu, saya tercenung. Lintasan berbagai masalah yang dipaparkan kawan tadi masih terngiang. Tanpa disadari, saya sendiri telah menerima surat tagihan dari Allah untuk mendo’akan makhlukNya. Tak ada daya dan kekuatan melainkan atas pertolongan Allah.
Ya Allah, berkahilah ia dan keluarganya. Sebesar apapun masalah yang Engkau berikan pada mereka, tetap kuatkanlah iman dan Islam mereka. Segundah apapun hati mereka, tetap buatlah selalu ada celah di hati mereka untuk mengingatMu, sehingga membuat hati mereka jadi tenang.Nafsuku menginginkan mereka lepas dari semua masalah. Tetapi Engkaulah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hambaMu. Jadikanlah masalah yang dihadapinya itu sebagai jalan keselamatan bagi mereka di dunia sampai akhirat nanti. Allaahumma amin. Dan apakah Anda telah membalas surat tagihan Anda? Jika belum, maka balaslah saat ini. ***

| Antara Nasib dan Ikhtiar |

        Kebanyakan orang, kerapkali terjebak dalam persangkaan buruk yang berlarut-larut karena merasa bingung dalam menyikapi sebuah keadaan. Seorang yang masih menganggur dan tak kunjung memperoleh pekerjaan, misalnya, barangkali akan merasa bahwa kondisinya saat itu merupakan nasib yang harus ia terima. Ia merasa kecewa dengan nasibnya dan marah pada keadaan yang sedang melanda dirinya.
Padahal, menurutnya, ia sudah berusaha untuk bisa memperoleh pekerjaan. Akan tetapi, sepertinya, pekerjaan itu sendiri yang selalu menjauh dari dirinya. Ia merasa bahwa nasibnya benar-benar sial. Sedangkan orang lain yang melihatnya menganggur, menganggap bahwa orang itu tidak punya semangat bekerja, tak mau berusaha atau berikhtiar.
            Melihat keadaan yang demikian itu, pada gilirannya, orang yang menganggur itu akan terus terjebak dalam persangkaan buruk terhadap nasibnya. Sementara itu, orang di sekitarnya yang melihat dirinya menganggur, akan terpaku pada persangkaan bahwa orang itu kurang optimal dalam berikhtiar.
Alhasil, baik orang yang menganggur itu sendiri maupun orang yang berprasangka pada si penganggur itu, sama-sama memiliki prasangka yang buruk kepada Tuhan. Sebab, Tuhanlah Yang Maha Berkehendak dan Maha Mengatur keadaan makhlukNya. Karenanya, jika kita berprasangka buruk pada keadaan makhluk, maka sama halnya kita telah berprasangka buruk kepada Sang Pencipta, Pengatur dan Pemilik Kehendak atas setiap makhluk.
            Sampai di sini, bagaimanakah sebetulnya kita harus mensikapi sebuah keadaan? Sebelumnya, mari kita sepakati terlebih dahulu, bahwa segala sesuatu yang telah terjadi itu merupakan nasib yang harus kita terima. Sedangkan untuk memperoleh kehidupan yang membuat hati kita merasa damai, maka kita harus berikhtiar. Itulah gunanya berikhtiar. Jadi, sekalipun misalnya, Anda sudah memiliki pekerjaan yang mapan dengan gaji yang cukup besar, akan tetapi, jika hati Anda belum merasa damai, maka itu berarti, sudah sepatutnya Anda perlu berikhtiar terus sehingga bisa memperoleh hati yang damai.
            Oleh karena nasib itu adalah sesuatu yang sudah terjadi, maka konsekuensinya, setiap keadaan yang Anda alami dari detik ke detik berikutnya, harus Anda terima dengan hati yang lapang. Sedangkan untuk memperoleh hati yang damai, Anda pun harus berikhtiar dari detik yang satu ke detik yang berikutnya.
Memasukkan Kesenangan
Mari kita perhatikan sejenak contoh berikut ini. Seorang kepala keluarga, kehilangan pekerjaannya sebagai akibat adanya rasionalisasi di perusahaannya. Akibatnya, ia tidak bisa menafkahi keluarganya lagi dan kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya. Itu adalah nasib yang harus diterima.
Artinya, ia mencoba untuk menerima keadaan itu sebagai sebuah kenyataan yang dianugerahkan Tuhan kepada keluarganya, bukan hanya kepada dirinya. Dalam hal ini, kita cukup menerima saja dengan ikhlas. Tidak perlu bertanya tentang apa maksud Tuhan, jika lantaran pertanyaan itu, yang muncul di dalam diri kita justru adalah prasangka buruk kepadaNya. Yakinkan selalu pada diri kita, bahwa itulah yang terbaik pada saat ini.
Oleh karena kondisi itu membuat gundah banyak hati, yakni hati anggota keluarga dan juga hati kita sendiri, maka bangunlah semangat untuk berikhtiar di dalam diri kita, agar semua hati itu menjadi senang. Salah satu amalan yang disukai oleh Allah, selain menjalankan perintah-perintah yang disyari’atkan oleh Allah adalah, memasukkan kesenangan ke dalam hati orang lain. Demikian bunyi sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.
Alhasil, ikhtiar itu bertujuan untuk membuat hati orang-orang di sekitar kita menjadi senang. Dengan demikian, hati kita pun akan ikut senang, karena pada dasarnya kita memiliki hati yang satu.
Di dalam berikhtiar itu, jangan lupa agar tetap kita sandarkan kepada kemurahan Allah. Artinya, berhasil atau tidaknya ikhtiar kita itu, adalah karena itulah yang Allah inginkan untuk kita. Hikmahnya, jika ikhtiar kita itu berhasil, maka hati kita tidak menjadi sombong dan tidak merasa diri kita mampu berikhtiar, tanpa merasakan adanya pertolongan Allah dalam ikhtiar kita itu. Padahal, sejatinya, kita bisa berikhtiar itu adalah, mutlak juga karena kemurahan pertolongan Allah atas diri kita.
Sedang jika ikhtiar kita itu belum membuahkan hasil, maka kita pun tidak perlu merasa kecewa secara berlebihan dan menganggap Tuhan tidak mau menolong. Sebaliknya, hendaklah kita tetap berprasangka baik kepadaNya. Sebab, boleh jadi, ketidak-berhasilan itu merupakan salah satu bentuk pertolongan Allah untuk kita.
Misalnya, siapa tahu jika pada saat itu kita berhasil, justru akan mengakibatkan iman dan Islam kita jadi goyah? Oleh karena itu, di dalam berikhtiar, sudah sepatutnyalah jika kita selalu merasa yakin bahwa Dia akan memberikan pertolonganNya. Baik bentuk pertolongan itu dapat dipahami ataupun tidak dapat dipahami oleh akal kita yang terbatas. Ada baiknya kita renungkan sabda Rasulullah saw berikut ini: ”Janganlah engkau mati kecuali dalam keadaan baik sangka kepada Allah.”
Dengan demikian, dalam keadaan apapun (sebagai nasib yang diterima) dan dalam segala macam ikhtiar yang kita lakukan (sebagai jalan untuk membuat hati jadi damai), sudah selayaknyalah jika kita selalu menanamkan prasangka baik kepadaNya.
Jangan sampai kita mengecam nasib yang ditimpakan Allah kepada kita, dan jangan sampai pula kita menganggap ikhtiar yang telah kita lakukan itu sebagai perbuatan yang sia-sia. Sebab, setiap keluar-masuknya nafas itu, kelak akan ada pertanggungjawabannya. Maka, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang sia-sia? Karena itu, jadikanlah setiap kegagalan tersebut sebagai alat untuk kita menimba ilmu sebanyak mungkin dan selalu tetap bersandar pada kemurahan pertolonganNya. ***