Bertaubat merupakan dambaan setiap orang. Tak ada orang yang tidak suka dengan
taubat dan tak seorang pun yang hatinya tidak ciut, jika dianggap belum
bertaubat. Coba saja jika Anda menasihati kawan Anda, maka biasanya jawaban
yang akan keluar dari mulutnya adalah: “Besok, jika saya sudah bertaubat, saya
akan melaksanakannya.” Atau, jika Anda menuduhnya sebagai orang yang tidak mau
bertaubat, maka kawan Anda itu akan melengos atau boleh jadi dia akan marah.
Bahkan pernah ada sebuah peristiwa.
Seseorang tewas di tangan temannya, gara-gara ia menghujat kawannya itu dengan
kata-kata yang cukup pedas didengar oleh telinga. “Sudah tua, tetapi
tak mau bertaubat. Besok kalau mati, maka akan masuk neraka,” demikian katanya.
Tak urung, kata-katanya itu membuat orang yang ’disumpahinya’ pun jadi naik
darah.
Betapa
hebatnya makna yang dibawa oleh kata taubat tersebut. Seorang yang tadinya suka
mengganggu orang, kemudian ia berhenti dari perbuatannya itu, jika dikatakan
padanya bahwa sikapnya sudah tampak sebagai orang yang bertaubat, maka ia pun
akan merasa senang sekali. Biasanya, ia tak sungkan membeberkan resep-resep
yang pernah ditempuhnya, sehingga ia bisa mencapai taubat yang dimaksudkannya
itu.
Tiga Macam Kreteria
Hal ini
menunjukkan bahwa, taubat itu merupakan dambaan setiap orang – meski dalam
prakteknya, banyak kendala yang ditemui dan tampak sangat sulit untuk bisa
menjalani kebiasaan baru sebagai konsekuensi dari taubat tersebut.
Apakah
taubat itu? Secara syar’i, orang yang bertaubat itu harus menempuh tiga macam
kriteria. Pertama, menyesali perbuatan dosa atau kesalahan yang
telah dilakukan dan memohon ampunan Allah. Kedua, tidak
mengulangi lagi perbuatan dosa atau kesalahan tersebut. Sedang yang ketiga,
segera melakukan perbuatan baik untuk mengganti perbuatan dosa atau kesalahan
yang telah dilakukannya.
Pada
kriteria pertama, orang kerapkali merasa sudah menyesali perbuatan dosa atau
kesalahannya. Namun, sejatinya, ia belum menyesal dan bahkan cenderung mencari
pihak ketiga untuk dijadikan kambing hitam. Misalnya, seseorang berkata, ”Saya
menyesal. Tetapi, saya berbuat demikian, karena ia yang lebih dulu memancing
kemarahan saya.” Atau dengan bahasa yang berbeda, seseorang berkata demikian,
”Saya memang salah, tetapi dia juga salah.”
Atau berkata seperti
ini: ”Saya menyesal, tetapi setan telah memperdaya saya, sehingga saya berbuat
demikian.” Kalimat-kalimat tersebut dan yang sejenis dengan itu, memberi
isyarat bahwa orang yang bersangkutan belum sepenuhnya menyesal. Ia masih
mencari alasan pembenar dari perbuatan dosa atau kesalahan yang telah
diperbuatnya.
Pada
tataran ini, seseorang yang masih mencari celah kesalahan orang lain tatkala ia
tengah mengupas kesalahannya sendiri, atau menganggap setan sebagai biang
keladi dari perbuatan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka orang
semacam itu sesungguhnya belum menyesali sepenuhnya akan perbuatan dosa atau
kesalahannya. Mengapa demikian?
Sebab, ketika
seseorang berusaha melihat kesalahan orang lain sebagai pemicu kesalahan yang
diperbuatnya, maka pada saat yang sama, ia telah merasa bahwa dirinya itu sudah
melakukan hal yang ”benar”. Begitu pula, ketika seseorang menganggap setan sebagai
biang keladi yang telah menipu dirinya sehingga ia berbuat salah, maka pada
saat itu, ia pun tengah mencoba membangun benteng untuk menutupi kesalahannya
sendiri.
Sikap
yang demikian itu, pada gilirannya akan membuat hati seseorang jadi tidak
merasa nyaman ketika mendengar nasihat atau teguran. Apalagi jika mendengar
caci-maki dan teguran yang bersifat cukup keras atau pedas. Tak heran, jika ada orang yang mengaku
sudah menyesal, tetapi ketika dicaci-maki dan ditegur dengan kata-kata yang
pedas, nafsu amarahnya langsung bangkit dan ia pun akhirnya jadi lepas kendali.
Hal itu terjadi karena, sejatinya, sang hati masih tertutup dan penyesalan yang
dikira sudah masuk ke dalam hati itu, ternyata masih berada di luar.
Tanpa bermaksud
membenarkan tindakan mencaci-maki seseorang yang berbuat salah dan mengesahkan
teguran dengan kata-kata yang pedas, namun jika hal itu terjadi pada seseorang
yang telah berbuat salah dan ia juga sudah mengaku menyesal, maka apabila
penyesalannya itu benar-benar dari lubuk hatinya yang paling dalam dan
dikarenakan oleh ketakutannya kepada Allah, maka jika diperlakukan seperti
apapun, ia akan menerima dengan lapang hati.
Sebab, ia benar-benar menyesal. Dalam hal
ini, penyesalannya itu bukan hanya kepada sesama makhluk, tetapi juga kepada
Allah. Rasa penyesalannya kepada Allah itulah yang memberi kekuatan kepadanya
untuk menerima segala macam caci-maki dan teguran pedas lainnya. Sebab,
prinsipnya adalah, ”Lebih baik aku dihina sekarang, daripada Allah menghinaku
kelak di akhirat karena perbuatan dosa atau kesalahanku ini.”
Membuka Hijab
Dalam
hal ini, yang dilihat bukan lagi gerak makhluk Allah, tetapi gerak Allah itu
sendiri. Maksudnya, orang yang mencaci-maki dan memberinya teguran keras itu
adalah digerakkan oleh Allah untuk menebus perbuatan dosa atau kesalahan yang
telah ia lakukan. Apabila seseorang sudah dapat mencapai pemahaman seperti ini,
maka itu berarti ia benar-benar telah menyesali perbuatan dosa atau
kesalahannya.
Rasa
penyesalan seperti itu, insya’ Allah akan membuka hijab yang menyelimuti hati kita, sehingga Allah pun berkenan
menurunkan ampunanNya. Jika ampunan Allah telah turun, maka hati kita akan
dipenuhi cahaya. Alhasil, hati kita pun jadi terbuka dan dapat menerima
petunjuk yang diturunkan oleh Allah.
Oleh karena itu,
hati kita yang tadinya dipenuhi penyesalan, akan diisi dengan rahmatNya,
sehingga kita memiliki semangat untuk berhati-hati dalam menjalani kehidupan
ini, agar tidak jatuh ke dalam lubang kesalahan yang sama. Syukur-syukur bisa
menghindari lubang-lubang kesalahan lainnya yang tidak serupa. Dalam hal ini,
kita memasuki episode kedua dari kriteria taubat tadi, yakni tidak mengulangi
perbuatan atau kesalahan itu lagi.
Pada
proses perjalanan dalam episode kedua ini, kebanyakan orang sering lupa menyandarkan
ikhtiarnya kepada kemurahan rahmat Allah. Mereka menganggap dirinya sudah
memiliki keimanan yang kuat dan sudah benar-benar bertaubat, karena bisa
menghindari perbuatan dosa atau kesalahan yang sama. Merasa diri bisa
menghindari perbuatan dosa atau kesalahan yang sama itulah yang merupakan
senjata bumerang bagi kebanyakan orang. Mengapa demikian?
Sebab, perasaan
tersebut, akan melahirkan perasaan merasa lebih dari orang lain. Misalnya,
merasa lebih tinggi kualitas keimanannya, merasa telah menjadi orang baik,
merasa dirinya bisa menghindari perbuatan dosa, merasa bisa bertaubat, merasa lebih konsekuen dalam
menjalankan aturan Allah dan lain sebagainya. Yang kesemuanya itu, muaranya
adalah kesombongan diri. Bukankah itu sama saja halnya dengan mendorong diri
kita ke jurang yang lebih dalam?
Oleh
karena itu, di dalam melakukan berbagai ikhtiar agar kita tidak mengulangi
perbuatan dosa atau kesalahan tersebut, jangan lupa untuk menyandarkan ikhtiar
kita itu pada kemurahan rahmat Allah. Artinya, kita menyadari betul-betul,
bahwa sejatinya, kita bisa menghindarkan diri dari perbuatan dosa atau
kesalahan tersebut, adalah mutlak karena adanya petunjuk dan pertolongan Allah,
lantaran kasih sayangNya yang Maha Luas. Jadi, bukan semata-mata karena kemampuan
diri kita sendiri.
Kemurahan Allah
Selanjutnya, atas
kemurahan Allah pula, kita pun dapat melakukan berbagai macam amal kebajikan
dalam kehidupan kita. Disinilah letak episode ketiga dari kriteria taubat tadi.
Dalam hal ini, tak jarang
orang jadi melenceng hatinya. Awalnya ingin bertaubat dan melakukan berbagai
amal kebajikan, namun pada gilirannya, mereka jadi merasa lebih baik, lebih
‘alim, lebih shalih dan merasa mampu menggerakkan dirinya untuk selalu
mengerjakan berbagai macam amal kebajikan yang telah dilakukannya.
Hal itu dapat terjadi, apabila di dalam
melakukan berbagai macam amal kebajikan itu, seseorang lupa untuk
menyandarkannya pada kemurahan rahmat Allah. Ia menganggap bahwa karena dirinya
hebat dan imannya yang kuat, sehingga bisa bertahan melakukan berbagai macam
amal kebajikan. Akibatnya, ia tak sungkan melihat orang lain dengan sebelah
mata, karena ia merasa amalan orang itu tidak sederajat dengan dirinya.
Padahal, sejatinya, ia dapat bergerak dan
beramal itu adalah karena adanya pertolongan dan kemurahan rahmat Allah.
Sekiranya Allah membuat tubuhnya tak bisa bergerak, maka tentulah ia juga tak
akan bisa apa-apa. Sekiranya Allah membuatnya menjadi alpa, maka ia pun tidak
akan bisa menjadi ingat untuk berbuat baik.
Apabila kita
menyadari ketidakberdayaan kita tanpa adanya pertolongan dan kemurahan rahmat
Allah tersebut, maka kita tidak akan melihat amal kebajikan yang telah kita
lakukan itu sebagai prestasi kita yang patut dibanggakan. Sebab, kita menyadari
betul bahwa segala amal kebajikan yang kita lakukan itu tidak akan terwujud
tanpa adanya pertolongan Allah. Dialah yang membuat kita jadi ingat untuk
berbuat kebajikan.
Dia pulalah yang
membuat kita tahu caranya bagaimana melakukan amal kebajikan yang Dia sukai.
Oleh karena itu, jangan pernah merasa diri bisa bertaubat. Sebab, sejatinya,
Dialah yang memberi petunjuk ke dalam hati kita untuk bertaubat dan Dia pulalah
yang menolong kita untuk melakukan pertaubatan tersebut. Laa haula wa laa quwwata
illaa billaahil ’aliyyil ’azhiim. Tak ada daya dan
kekuatan pada diri kita untuk melakukan setitik amal kebajikan pun, melainkan
hanya karena adanya kemurahan pertolongan dari Allah yang Maha Tinggi lagi Maha
Agung. Maha Suci Allah yang dengan izin-Nya, orang-orang tergerak untuk
mensucikan diri dari perbuatan dosa dan kesalahan. ***